BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit prostat merupakan penyebab
yang sering terjadi pada berbagai masalah saluran kemih pada pria. Insidennya
menunjukan peningkatan sesuai dengan umur,
terutama mereka yang berusia 60 tahun.
Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ yang mengakibatkan
terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatik, keadaan ini
menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi traktus urinarius
memerlukan tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting dan sering dari
timbulnya gejala dan tanda ini adalah hiperlasia prostat dan karsinoma prostat.
Beranekaragamnya penyebab dan
bervariasinya gejala penyakit yang ditimbulkannya sering menimbulkan kesulitan
dalam penatalaksanaan BPH, sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang
tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa
mengakibatkan terjadinya BPH berkepanjangan. Oleh karena itu, mengetahui secara
lebih mendalam faktor-faktor penyebab (etiologi) BPH akan sangat membantu upaya
menangani penatalaksanaan BPH secara tepat dan terarah.
Prostat adalah
jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior
dari kandung kemih. Prostat normal beratnya kurang lebih 20 gr, didalamnya
berjalan uretra posterior
kurang lebih 2,5 cm. Pada
bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah inferior
oleh diafragmaurogenitale.
Pada prostat
bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir
pada verumontanum pada dasar uretra
prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna. Proses pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada
tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi.
Apabila keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis
dan disfungsi saluran kemih atas. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk mempelajari patofisiologi,
manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan yang komprehensif pada
klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) beserta keluarganya.
1.2
Tujuan
1.2.1
Tujuan umum
Menjelaskan
konsep dan proses keperawatan ada klien BPH (Benigna Prostat Hiperlasia)
1.2.2
Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi
definisi dari BPH (Benigna Prostat
Hiperlasia).
b. Mengidentifikasi
etiologi dari BPH
(Benigna Prostat Hiperlasia).
c. Mengidentifikasi
patofisiologi BPH (Benigna Prostat
Hiperlasia).
d. Mengidentifikasi
manifestasi klinis dari BPH (Benigna Prostat
Hiperlasia).
e. Mengidentifikasi
komplikasi dari BPH (Benigna Prostat
Hiperlasia).
f. Mengidentifikasi
pemeriksaan diagnostik dari BPH (Benigna
Prostat Hiperlasia).
g. Mengidentifikasi
penatalaksanaan dari BPH (Benigna Prostat
Hiperlasia).
h. Mengidentifikasi
proses keperawatan dari BPH (Benigna Prostat
Hiperlasia).
BAB
II
TINJAUAN
MATERI
2.1 Definisi
BPH
adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang
ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat
menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi
sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau
hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami
hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri
akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur
di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi
prostat sudah umum dipakai.
Benigna prostat hiperlasia (BPH)
adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria tua
lebih dari 50 tahun) menyebabkan derajat obstruksi uretral dan pembatasan
aliran urinarius. (Marilyn E. Doenges. 1999)
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah kondisi patologis
yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk
intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun. (Brunner dan Suddarth. 2001).
2.2 Etiologi
Hingga
sekarang belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperlasia prostat,
tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperlasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperlasia prostat
adalah :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan
reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon
estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria
terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang
mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor
atau fibroblast growth factor dan penurunantransforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
5. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa
terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma
dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal
74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit
(RogerKirby, 1994 : 38 ).
2.3 Patofisiologi
Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De
Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan
akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar
dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan
atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan
kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung
tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya
diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat
muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam
kandung kemih. Pada beberapa kasus jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi
dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan
sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat
peningkatan infeksi dan baru kandung kemih.
Peningkatan
tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi air,
natrium. dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat
dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien
dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada
awalnya air, elekro urin dan beban solute lainnya meningkatkan diuresis ini,
akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal
untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan
dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia. Menurut Mansjoer
Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus
urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat
sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra
daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih
kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor menjadi lebih tebal dan penonjolan serat
detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balik yang
tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa
vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk
tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut
diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut
detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut
pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Patoflow BPH
2.4 Manifstasi Klinis
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari
hal-hal berikut dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih,
nokturia, urgensi (kebelet), urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat,
mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan kemih, rasa tidak lampias, inkontinensia
overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih. Hematuria dapat terjadi,
tetapi hal ini jarang ditemukan.
Retensi urin akut dapat terjadi pada pria yang sebelumnya
mempunyai gejala prostratism, vesiku urinaria teraba membesar dan lunak, dan
diperlukan tindakan katerilisasi.
Retensi urin kronik relatif tidak
begitu sakit. Ditemukan jumlah yang meningkat disertai kencing yang tidak bisa
di kontrol, biasanya pada malam hari. Terbagi 4 grade yaitu:
1.
Pada grade I (conges tic)
a)
Mula-mula pasien berbulan atau beberapa
tahun susah kemih dan mulai mengedan.
b)
Kalau
miksi merasa puas.
c)
Urine keluar menetes dan pancaran
lemah.
d)
Nocturia (frekuensi kencing bertambah terutama
malam hari)
e)
Urine
keluar malam hari lebih dari normal.
f)
Ereksi lebih lama dari normal dan
libido lebih dari normal.
g)
Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari
orificium urethra interna. Lambat
laun terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding)
2.
Pada
grade 2 (residual)
a) Bila miksi terasa panas.
b) Dysuri nocturi bertambah berat.
c) Tidak bisa
buang air kecil (kemih tidak puas).
d) Bisa terjadi infeksi karena sisa air
kemih.
e) Terjadi panas tinggi dan bisa
menggigil.
f) Nyeri pada
daerah pinggang (menjalar ke ginjal).
3.
Pada
grade 3 (retensi urine)
a) Ischuria paradosal.
b) Incontinensia paradosal.
4.
Pada
grade 4
a)
Kandung
kemih penuh.
b)
Penderita
merasa kesakitan.
c)
Air
kemih menetes secara periodik yang disebut over flow incontinensia.
d)
Pada
pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor, karena bendungan yang hebat.
e)
Dengan
adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40- 410 C.
f)
Selanjutnya
penderita bisa koma
2.5 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah.
Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi
pada waktu miksic. Hernia/hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga
menyebabkan terbentuknya batu. Hematuriaf. Sistitis dan Pielonefritis.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas
dan biakan urin.
2. Radiologis
Intravena pylografi, BNO, sistogram,
retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram
retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan
secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi),
selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula
menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain
seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro Pubis
4. Pembuatan insisi pada abdomen bawah,
tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat
diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat
5. Prostatektomy
Merupakan tindakan pembedahan
bagian prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk
memeperbaikialiran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
6. rostatektomi Parineal
Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat
dibuang melalui perineum
2.7 Penatalaksanaan
1.
Terapi
Pemberian
terapi tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi klien. Jika
klien datang ke rumah sakit dalam keadaan darurat karena ia tidak dapat
berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Kateter yang lazim mungkin terlalu lunak dan lemas untuk
dimasukan melalui uretra kedalam kandung kemih. Dalam kasus seperti ini, kabel
kecil yang di sebut stylet dimasukan (oleh ahli urology) ke dalam kateter untuk
mencegah kateter kolaps ketika menemui tahanan. Pada kasus yang berat, mungkin
digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi
dibuat kedalam kandung kemih (sistostomi suprapubik) untuk drainase yang
adekuat. Tujuan terapi pada pasien hiperlasia prostat adalah :
a. Memperbaiki keluhan miksi.
b. Meningkatkan kualitas hidup.
c. Mengurangi intravesika.
d. Mengembalikan fungsi ginjal jika
terjadi gagal ginjal.
e. Mengurangi residu urine setelah
miksi.
f. Mencegah progresif penyakit.
Tidak semua pasien hiperlasia proatat perlu menjalani
tindakan medis. Kadang-kadang mereka mengeluh low urinary tract symptom (LUTS).
Ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan
nasehat dan konsultasi saja.
2.
Tindakan medis yang bertujuan untuk pengobatan.
Tindakan medis pada klien dengan benigna prostat hiperplasia
jangka panjang yang paling baik saat ini adalah tindakan pembedahan yaitu
prostratektomi. Operasi prostratektomi adalah metode dari millin yaitu
melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropublik intravesik
freyer, melalui pendekatan suprapublik transvesika atau transperineal. Karena
pada pemberian obt-obatan atau terapi non inpasif lainnya membutuhkan jangka
waktu yang sangat lama.
Adapun jenis-jenis prostratektomi yaitu :
a. Transurethral Resection Of The
Prostate (TURP). Pengankatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat melalui
sistoskop atau resektoskop yang dimasukan melalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis.
Pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat di kandung kemih.
c. Prostatektomi Retropubis.
Pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui
frosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Perineal.
Pengankatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi di antara skortum
dan rektum.
e. Prostatektomi Reropubis Radikal.
Pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis, dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah ;
uretra di anastomosiskan ke leher kandung kemih
2.8 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses sistematis
dari pengumpulan, verifikasi dan komunikasi data tentang klien. Fase proses
keperawatan ini mencangkup dua langkah, yaitu :
1. Pengumpulan data dari sumber
primer (klien).
2. Pengumpulan data dari sumber
sekunder (keluarga dan tenaga kesehatan).
Tujuan pengkajian adalah menetapkan dasar data tentang
kebutuhan, masalah kesehatan, tujuan, nilai, dan gaya hidup yang dilakukan
klien (Potter Da Perry, 2005)
Pengkajian yang dilakukan menurut Marylinn E. Doenges (1999)
yaitu siskulasi di tandai dengan peninggian TD (efek pembesaran ginjal).
Pada pola eleminasi, gejala yang timbul yaitu penurunan
kekuatan/dorongan aliran urin, tetesan keragu-raguan pada berkemih awal.
Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan
frekuensi berkemih. Nokturia, disuria, hematuria. Duduk untuk berkemih,. ISK
berulang, riwayat batu (statsis urinaria). Kontipasi (protrusi prostat ke dalam
rektum). Ditandai dengan masa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih), nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan
tekanan abdominal meningkat yang memerlukan pengosongan kandungkemih mengatasi
tahanan).
Makanan/cairan gejala yang timbul yaitu anoreksia, mual,
muntah, penurunan berat badan.
Nyeri/kenyamanan gejala yang timbul yaitu nyeri suprapubis,
pinggul, atau punggung tajam, kuat (pada prostatitis akut) nyeri punggung
bawah. Keamanan gejala yang timbul yairu demam.
Seksualitas gejala yang timbul yaitu masalah tentang efek
kondisi terapi pada keamanan seksual. Takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim. Penurunan kontraksi ejakulasi. Ditandai dengan pembesaran,
nyeri tekan prostat. Penyuluhan/pembelajaran gejala yang
timbul yaitu riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal. Penggunaan
antihipertensif atau antidepresan, antibiotik urinaria atau agen antibiotik,
obat yang dijual bebas untuk flu/alergi, obat mengandung simtomimetik dengan
pertimbangan DRG menunjukan rerata dirawat 2,2 dari rencana pemulangan
memerlukan bantuan dengan manajemen terapi, contoh kateter.
Pemeriksaan diagnostik, yaitu:
a. Urinalisa : warna kuning, coklat
gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh PH7 atau lebih besar (menunjukan
infeksi); bacteria, SDP, SDM mungkin ada mikroskopis.
b. Kultururine : dapat menunjukan
staphylococcus aureus, proteus, klebsilla, pseudomonas, atau escherichia coli.
c. Sitologi urine : untuk
mengesampingkan kanker kandung kemih.
d. BUN/Kreatinin : meningkatkan bila
fungsi ginjal dipengaruhi.
e. Asam fosfat serum/antigen khusus
prostatik : peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada
kanker prostat dapat mengindikasikan metastase tulang.
f. SDP : mungkin lebih besar dari
11.000, mengindikasikan infeksi bila klien imunosupresi.
g. Penentuan kecepatan aliran urine
: mengkaji derajat obstruksi kandung kemih.
h. IVP dengan film pasca-berkemih :
menunjukka pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung
kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan
abnormal otot kandung kemih.
i. Sitouretrografi berkemih :
digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasikan kandung kemih dan uretra
karena ini menggunakan bahan kontras lokal.
j. Sistogram : mengukur tekanan dan
volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi disfungsi yang tidak
berhubungan dengan BPH.
k. Sistouretroskopi : untuk
menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih
(kontraindikasi pada adanya ISK akut sehubungan dengan resiko sepsis gram
negatif)
l. Sisometri : mengevaluasi fungsi
otot detrusor dan tonusnya.
m. Ultrasound transektal : mengukur
ukuran prostat, jumlah residu urine, melokalisasi lesi yang tidak berhubungan
dengan BPH.
2.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menggambarkan
respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat
mempunyai lisensi dan kompeten untuk mengatasinya (Potter dan Perry, 2005).
Berikut ini akan dijelaskan diagnosa keperawatan yang muncul
pada klien dengan Benigna prostat hiperlasia menurut Marylinn E. doenges (1999)
:
1. Gangguan pola eliminasi (BAK) :
Retensi urine berhubunagn dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat.
2. Gangguan rasa nyaman : Nyeri
berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal,
infeksi urinaria, terapi radiasi.
3. Resiko tinggi terhadap kekurangan
volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksidiuresis dari drainase cepat
kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
4. Ansietas berhubungan dengan
perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur bedah atau malignasi.
5. Kekurangan pengetahuan tentang
kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
terpejan/mengigat, salah interpretasi informasi.
Setelah dilakukan prostatektomi maka diagnosa keperawatan
yang akan muncul yaitu:
1. Perubahan eliminasi urine
berhubungan dengan obstruksi mekanik ; bekuan darah, edema, trauma, prosedur
bedah.
2. Resiko tinggi terhadap kekurangan
volume cairan berhubungan dengan area bedah, kesulitan mengontrol pendarahan.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan prosedure invasive ; alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering.
4. Resiko tinggi terhadap disfungsi
seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine
setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genetalia).
5. Kurang pengetahuan tentang
kondisi, pronosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
terpejan/mengigat ; salah interpretasi informasi.
3.
Perencaaan Keperawatan
Perencanaan adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tujuan berpusat pada klien dan hasil yang
diperkirakan, ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai
tujuan tersebut. Selama rencana dibuat prioritas, selain kolaborasi dengan
klien dan keluarga, perawat berkonsul dengan anggota tim kesehatannya, menelaah
literature yang berkaitan, memodifikasi asuhan, dan mencatat informasi yang
relevan tentang kebutuhan keperawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan
klinik (Potter dan Perry, 2005). Tipe intervensi : terdapat 3 kategori
intervensi keperawatan :
1. Intervensi keperawatan : untuk
respon perawat terhadap kebutuhan perawatan kesehatan dan diagnosa klien.
2. Intervensi dokter : respon dokter
terhadap diagnosa medis dan perawat menyelesaikan instruksi dokter tertulis.
3. Intervensi kolaboratif : terapi
yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian dari bidang. (Potter
dan Perry, 2005)
Intervensi keperawatan mMarylinn E.
Doenges (1999) adalah :
a. Gangguan pola eleminasi : (BAK)
retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat.
Tujuan : berkemih dengan jumlah yang
cukup, tidak teraba distensi kandung kemih, dengan kriteria hasil menunjukan
residu paska berkemih kurang dari 50 ml, dengan tidak ada tetesan/kelebihan
aliran.
Intervensi :
1. Dorong kilen untuk berkemih
setiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
2. Tanyakan klien tentang
inkontinensia stress.
3. Observasi aliran urine,
perhatikan ukuran dan kekuatan.
4. Awasi dan catat waktu dan jumlah
tiap berkemih.
5. Penurunan haluan urine dan perubahan
berat jenis.
6. Perkusi/palpasi area suprapubik.
7. Dorongan masukan cairan sampai
3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan.
8. Awasi tanda vital dengan ketat.
9. Observasi hipertensi, edema
prifer/ dependen, perubahan mental, timbang tiap hari pertahankan masukkan dan
pengeluaran dengan akurat.
10. Berikan/ dorong kateter lain dan
parineal.
11. Berikan rendam duduk sesuai
indikasi.
12. Kolaborasi berikan obat sesuai
dangan indikasi : anti spasmodic, contoh oksibutinin klorida (ditropan).
b. Gangguan rasa nyaman : nyeri
berhubungan dangan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, kolik ginjal,
infeksi uraniria, terapi radiasi.
Tujuan : melaporkan nyeri hilang/
terkontrol, dengan kriteria hasil tampak rileks, mampu untuk tidur/ istirahat
dengan tepat.
Intervensi :
1. Kaji nyeri ; perhatikan lokasi,
intensitas (skala 0-10).
2. Plester selang drainase pada paha
dan kateter pada abdomen bila traksi tidak diperlukan.
3. Pertahankan tirah baring bila
diindikasikan.
4. Berikan tindakan kenyamanan,
contoh pijatan punggung ; membantu klien melakukan posisi yang nyaman :
menganjurkan untuk teknik relaksasi/ latihan napas dalam aktifitas terapeutik.
5. Dorongan menggunakan rendam
duduk, sabun hangat untuk perineum.
6. kolaborasi :
a. Masukan kateter dan dekatkan
untuk kelancaran drainase.
b. Lakukan masase pinggul.
7. Berikan obat sesuai indikasi ;
narkotik, contoh eperidin (demenol).
c. Resiko tinggi terhadap kekurangan
volume cairan berhubungan dengan paska obstruksidiuresis dari drainase cepat
kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Tujuan : mempertahankan hidrasi
adekuat, dengan kriteria hasil tanda vital stabil, nadi perifer teraba,
pengisian kapiler baik, membran mukosa lembab.
Intervensi :
1. Awasi keluhan dengan hati-hati,
tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam.
2. Dorong peningkatan pemasukan oral
berdasarkan kebutuhan individu.
3. Awasi TD, nadi dengan sering.
Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral.
4. Tingkatkan tirah baring dengan kepala
tinggi.
5. Kolaborasi :
a. Awasi elektrolit terutama
natrium.
b. Berikan cairan IV (garam faal
hipertionik) sesuai kebutuhan.
d. Ansietas berhubungan dengan
perubahan status kesehatan : kemungkinan prosedur bedah (malignasi).
Tujuan : Tampak rikeks dengan
kriteria hasil menunjukan rentang tepat tentang perasan dan penurunan rasa
takut.
Intervensi :
1. Selalu ada untuk klien. Buat
hubungan saling percaya dengan klien/ orang terdekat.
2. Berikan informasi tentang
prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi. Contoh: kateter urine
berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang
diinginkan klien.
3. Pertahankan perilaku nyata dalam
melakukan prosedur menerima klien, lindungi privacy.
4. Dorong klien/ orang terdekat
untuk menyatakan masalah/ perasaan.
5. Beri penggunaan informasi klien
yang telah diberikan sebelumnya.
e. Kurang pengetahuan tentang
kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
terpajan/ mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : menyatakan pemahaman proses
penyakit/ prognosis, dengan kriteria hasil mengidentifikasikan hibungan tanda/
gejala proses penyakit.
Intervensi :
1. Kaji ulang proses penyakit,
pengalaman klien.
2. Dorong menyatakan rasa takut/
perasaan dan perhatian.
3. Anjurkan menghindari makanan
berbumbu, kopi, alkohol, mengemudikan mobil lama, pemasukan cairan cepat.
4. Berikan informasi anatomi dasar
seksual. Dorong pertanyaan dan tingkatkan dialog tentang masalah.
5. Bicarakan masalah seksual contoh
bahwa selama episode akut prostatits. Koitus dihindari tetapi mungkin membantu
pengobatan dalam kondisi kronis.
6. Kaji ulang tanda/ gejala yang
memerlukan evaluasi medik, contoh urine keruh. Berbau ; penurunan haluan urine,
ketidak mampuan untuk berkemih ; adanya demam/ menggigil.
7. Diskusikan perlunya pemberitahuan
pada perawat kesahatan lain tentang diagnosa.
8. Beri penguatan pentingnya
evaluasi medik untuk sedikitnya 6 bulan sampai 1 tahun, termasuk pemeriksaan
rektal dan urinalisa.
Setelah dilakukan prostatektomi yaitu
:
a. Perubahan eliminasi urin
berhubung dengan obstruksi mekanik : bekan darah, edema, trauma, prosedur
bedah.
Tujuan : Berkemih dengan jumlah
normal tanpa retensi dengan kriteria hasil menunjukan perilaku yang
meningkatkan kontrol kandung kemih/ urinaria.
Intervensi :
1. Kaji haluan urine dan system
kateter/ drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.
2. Bantu klien memilih posisi normal
untuk berkemih contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan frekuensi sering
setelah kateter dilepas.
3. Perhatikan waktu, jumlah
berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa
penuh kandung kemih ; ketidakmampuan berkemih, urgensi.
4. Dorong klien untuk berkemih bila
terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per protocol.
5. Ukuran volume residu cairan 3000
ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam, setelah kateter dilepas.
6. Instruksikan klien untuk latihan
oparineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
7. anjurkan klien bahwa “penetesan”
diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai kemajuan.
8. Kolaborasi : pertahankan irigasi
kandung kemih kantinu continous bledder irrigation (CBI) sesuai indikasi pada
periode paska operasi dini.
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan
volume cairan berhubungan dengan area bedah, kesulitan mengontrol pendarahan.
Tujuan : Mempertahankan hidrasi
adekuat dengan kriteria hasil tanda vital stabil, nadi perifer teraba,
pengisian kapiler baik, membran mukosa lembab, dan keluaran urine tepat.
Intervensi :
1. Benamkan kateter, hindarkan
manipulasi berlebihan.
2. Awasi masukan dan pengeluaran.
3. Observasi drainase kateter,
perhatikan pendarahan berlebihan/berkelanjutan.
4. Evaluasi warna, konsistensi urine
contoh merah terang dengan bekuan merah.
5. Peningkatan viskositas, warna
keruh gelap dengan bekuan gelap.
6. Pendarahan dengan tidak ada
bekuan.
7. Inspeksi balutan/luka drainase.
Timbang balutan bila diindikasikan. Perhatikan pembentukan hematoma.
8. Awasi tanda vital, perhatikan
peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan TD, diaforesis pucat, perlambatan
pengisian kapiler, membran mukosa kering.
9. Selidiki kegelisahan, kacau
mental, perubahan perilaku.
10. Dorong pemasukan cairan 3000
ml/hari kecuali kontraindikasi.
11. Hindari pengukuran suhu rektal
dan menggunakan selang rektal.
12. Kolaborasi awasi pemeriksaan
laboratorium sesuai indikasi, contoh Hb/Ht, jumlah sel darah merah.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan prosedur infasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi
kandung kemih sering.
Tujuan : Mencapai waktu Penyembuhan
dengan kriteria hasil tidak mengalami tanda infeksi.
Intervensi :
1. Pertahankan system kateter
steril, berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air. Berikan salep
antibiotik di sekitar sisi kateter.
2. Ambulasi dengan kantung drainase
dependen.
3. Awasi tanda vital, perhatikan
demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka,
disorientasi.
4. Observasi drainase dari luka
sekitar kateter suprapubik.
5. Ganti balut dengan sering (insisi
supra/retro pubik dan parineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang
waktu.
6. Gunakan pelindung kulit ostami.
7. Kolaborasi : berikan antibiotik
sesuai indikasi.
d. Resiko tinggi terhadap disfungsi
seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urin
setelagh pengangkatan kateter, keterlibatan area genetalia).
Tujuan : Tampak rileks dan
melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi dengan kriteria hasil
menyatakan pemahaman situasi individual.
Intervensi :
1. Berikan keterbukaan pada
klien/orang terdekat untuk membicarakan tentang masalah inkontinensia dan
fungsi seksual.
2. Berikan informasi akurat tentang
harapan kembalinya fungsi seksual.
3. Diskusikan dasar anatomi, jujur
dalam menjawab pertanyaan klien.
4. Diskusikan ejakulasi retrograde
bila pendekatan tranurethral/suprapubik digunakan.
5. Instruksikan latihan perineal dan
interupsi/kontinu aliran urine.
6. Kolaborasi : rujuk ke penasehat
seksual sesuai indikasi.
e. Kurang pengetahuan tentang
kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
terpejan/mengigat ; salah interpretasi informasi.
Tujuan : Melakukan dengan benar
prosedur yang perlu dan menjelaskan alas an tindakan, dengan kriteria hasil
berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi :
1. Kaji implikasi prosedur dan
harapan masa depan.
2. Tekankan perlunya nutrisi yang
baik ; dorong konsumsi buah, meningkatkan diet tinggi serat.
3. Diskusikan pembatasan aktifitas
awal, contoh menghindari mengangkat berat, latihan keras, duduk/mengendarai
mobil terlalu lama, memanjat lebih dari 2 tingkat tangga sekaligus.
4. Dorong kesinambungan latihan
parineal.
5. Instruksikan perawatan kateter
urine bila ada, identifikasi sumber alat/dukungan.
6. Kaji ulang tanda/gejala yang
memerlukan evaluasi medik contoh eritema, drainase purulen dari luka ;
perubahan dari karaker/jumlah urine, adanya dorongan/frekuensi pendarahan
berat, demam/menggigil.
4.
Pelaksanaan Keperawatan
Menurut Potter dan Perry (2005),
perencanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai sekali rencana tindakan disusun dan ditunjukan pada
nursing orders membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk mengidentifikasi
factor-faktor masalah kesehatan klien.
Tahap dari pelaksanaan adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan
memfasilitasi hoping. Tahap tindakan keperawatan ada 3 yaitu :
1. Persiapan.
Tahap awal tindakan keperawatan
menurut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam tindakan.
2. Perencanaan.
Fokus tahap pelaksanaan tindakan
adalah kegiatan pelaksanaan rindakan di perencanakan untuk memenuhi kebutuhan
fisik dan emosional.
3. Pendokumentasian.
Pelaksanaan tindakan keperawatan
harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian
dalam proses keperawatan.
5.
Evaluasi Keperawatan
Menurut Potter dan Perry (2005)
evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannyasudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat
untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama pengkajian. Tahap pengkajian,
analisa, perencanaan dan pelaksanaan tindakan.
Tujuan evaluasi adalah melihat
kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Ada 2 komponen untuk mengevaluasi
tindakan keperawatan, yaitu :
1. Proses (formatif).
Fokus tipe evaluasi ini adalah
aktifitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan tindakan
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif terus menerus dilaksanakan sampai
tujuan yang telah ditentuka tercapai. Metode pengumpulan data dalam evaluasi
formatif terdiri dari analisa perencanaan tindakan keperawatan,
open/chartaudit, pertemuan kelompok, interview dan observasi dengan klien dan
menggunakan form evaluasi. Sistem penulisan pada tahap evaluasi ini biasanya
menggunakan sistem “SOAP” atau metode dokumentasi lainnya.
Evaluasi dengan menggunakan model
“SOAP” subjektif :
Subjektif : Perubahan keluhan yang
dirasakan pada klien.
Objektif : Gejala atau tanda yang
dapat dilihat dari tindakan yang telah dilakukan.
Analisa : Rencana terhadap
keberhasilan asuhan keperawatan.
Planning : Yang akan dilaksanakan
sesuai analia.
2. Hasil (Sumatif)
Fokus evaluasi hasil adalah
perubahan atau status kesehatan klien pada akhir tindakan perawatan klien. Tipe
evaluasi ini dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara paripurna.
Sumatif evaluasi adalah objektif, fleksibel, dan efisien. Adapun metode
pelaksanaan evaluasi sumatif terdiri dari close-chart audit, interview akhir
pelayanan, pertemuak akhir pelayanan dan pertanyaan kepada klien dan keluarga.
Komponen evaluasi dapat dibagi
menjadi 5 bagian, yaitu :
a. Menentukan kriteria, standar dan
pertanyaan evaluasi.
b. Mengumpulkan data mengenai
keadaan klien tertentu.
c. Menganalisa dan membandingkan
data terhadap kriteria dan standard.
d. Merangkum hasil dan membuat
kesimpulan.
e. Melakukan tindakan yang sesuai
berdasarkan kesimpulan.
BAB III
KASUS
3.1 Kasus
Bp. C (60 tahun) mengeluhkan susah buang
air kecil sejak 7 hari yang lalu. Klien mengatakan sakit saat akan buang air
kecil. Sejak kemarin, klien benar-benar sudah tidak bisa keluar urin. Setelah
dilakukan pemeriksaan, adanya pembesaran pada prostat klien.
a) Dari
kasus diatas, masalah medis apa yang di alami klien? Jelaskan analisa kelompok!
b) Jelaskan definisi, etiologi, manifestasi klinik,
patofisiologi, jenis-jenis (jika ada), komplikasi (jika ada), pemeriksaan
diagnostik, masalah keperawatan dan rencana asuhan keperawatan terkait masalah
medis dari kasus di atas
3.2 Pembahasan
Dari kasus diatas kelompok menyimpulkan
bahwa Bp. C (60 tahun) mengalami penyakit BPH (Benigna Prostat Hipertropi)
karena dari keluhan yang ada yaitu sejak 7 hari Bp.C susah buang air kecil,
rasa sakit saat buang air kecil, bahkan sudah satu hari Bp. C sudah tidak bisa
miksi sesuai dengan tanda dan gejala BPH kemudian dibuktikan dengan hasil
pemeiksaan yang menunjukan adanya pembesaran prostat pada klien.
3.3 Data Fokus
Data Subjektif
|
Data Objektif
|
klien mengelus susah buang air kecil sejak 7 hari yang
lalu
Klien mengatakan sakit saat BAK.
Klien mengatakan sejak kemarin klien benar-benar sudah
tidak bisa keluar urine.
|
Hasil pemeriksaan: adanya pembesaran pada prostat klien
|
Data Tambahan
|
TTV:
TD: 140/90
S: 37
Nadi: 80x/menit
RR: 18x/menit
Klien tanpak meringis
Klien tampak gelisah
Klien merasa tidak tuntas saat berkemih
|
3.4 Analisa Data
DS/DO/DT
|
Masalah
|
Etiologi
|
DS:
klien mengelus susah buang air kecil sejak 7 hari yang
lalu
Klien mengatakan sakit saat BAK.
Klien mengatakan sejak kemarin klien benar-benar sudah
tidak bisa keluar urine.
DO:
Hasil pemeriksaan: adanya pembesaran pada prostat klien
DT:
Klien merasa tidak tuntas saat berkemih
|
Perubahan
pola eliminasi urine: retensi urin
|
Pembesaran
Prostat
|
DS:
klien
mengeluh susah buang air kecil sejak 7 hari yang lalu
Klien
mengatakan sakit saat BAK.
DO:
Hasil pemeriksaan:
adanya pembesaran pada prostat klien
DT:
TD: 140/90
S: 37
Nadi:
90x/menit
RR:
18x/menit
Klien tanpak
meringis
Klien tampak
gelisah
|
Gangguan
rasa nyaman: nyeri
|
obstruksi
saluran kemih
|
3.5 Diagnosa
1. Gangguan
rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan obstruksi saluran kemih
2.
Perubahan pola eliminasi urine: retensi
urin berhubungan dengan pembesaran prostat
3.6
Intervensi
A. Diagnosa pertama
1. Diagnosa:
Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan obstruksi saluran kemih
2. Tujuan:
setelah dilakukan asuhan keperawatan nyeri teratasi
3. Kriteria
Hasil:
a.Secara verbal klien mengungkapkan
nyeri berkurang atau hilang
b.Klien tampak tenang.
c. TD dalam batasan normal (120/80
mmHg)
4. Intervensi:
Intervensi
|
Rasional
|
Monitor dan catat adanya rasa nyeri,
lokasi, durasi dan faktor pencetus
serta penghilang nyeri.
|
Untuk
menentukan intervensi
|
Observasi tanda-tanda non verbal nyeri
(gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
|
Dapat
mengetahui seberat apa nyeri yang dirasakan klien
|
Beri ompres hangat pada abdomen
terutama perut bagian bawah
|
Kompres
hangat dapat membuat dilatasi pembuluh darah sekitar abdomen dan meningkatkan
rasa nyaman
|
Anjurkan pasien untuk menghindari
stimulan (kopi, teh)
|
Mencegah
penumpukan urin didalam kandung kemih
|
Atur posisi pasien senyaman mungkin,
ajarkan teknik relaksasif. Lakukan
perawatan aseptik terapeutikg. Laporkan pada dokter jika nyeri
meningkat
|
Meningkatkan
rasa nyaman
|
Kolaborasi
pemberian analgesik
|
B.
Diagnosa Kedua
1.
Diagnosa: Perubahan pola eliminasi
urine: retensi urin berhubungan dengan pembesaran prostat.
2.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan
keperawatan masalah retensi urine teratasi
3.
Kriteria Hasil
Pasien
dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
4.
Intervensi:
Intervensi
|
Rasional
|
Awasi TTV dengan ketat
|
Sebagai ddeteksi dini penyakit
|
Perkusi/palpasi area
suprapubik.
|
Mengawasi penumpukan urine
|
Berikan rendam duduk sesuai indikasi
|
Meningkatkan rasa nyaman
|
Kolaborasi pemasangan kateter
|
Untuk mengeluarkan urine
|
Kolaborasi berikan obat sesuai dangan indikasi : anti
spasmodic, contoh oksibutinin klorida (ditropan).
|
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar
prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah
Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat
tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar
periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak.
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut
kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland
atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.
Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran progresif
dari kelenjar prostat (secara umum pada pria tua lebih dari 50 tahun)
menyebabkan derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Marilyn
E. Doenges. 1999)
4.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini juga penulis menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah masih terdapat banyak kesalahan, kekurangan serta
kejanggalan baik dalam penulisan maupun dalam pengonsepan materi. Untuk itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kedepan lebih
baik dan penulis berharap kepada semua pembaca mahasiswa khususnya, untuk lebih
di tingkatkan dalam pembuatan makalah yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Long, B.C. 1996. Perawatan Medikal Bedah : Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Susan Martin: Tucker, 1998,
Standar Perawatan pasien. Jakarta: EGC
0 comments:
Post a Comment
Komentar anda sangat berarti untuk perkembangan blog ini :
♦ Komentar sesuai dengan topic pembahasan
♦ No LINK AKTIF, SARA, SPAM
♦ Menjaga silaturahmi sesama blogger
♦ Disarankan menggunakan Open ID